1. Syarat-Syarat Sah Asuransi
Asuransi merupakan perjanjian khusus yang diatur dalam KUHD. Perjanjian adalah persetujuan yang dibuat oleh pihak atau lebih tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati suatu persetujuan yang dibuat bersama.[1]Maka ketentuan syarat-syarat suatu perjanjian dalam KUHperdata berlaku juga bagi perjanjian asuransi. Karena perjanjian asuransi merupakan perjanjian khusus, maka di samping ketentuan syarat-syarat sah suatu perjanjian, berlaku juga syarat-syarat khusus yang diatur dalam kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Syarat-syarat sah suatu perjanjian diatur dalam pasal 1320 KUHperdata, menurut ketentuan pasal tersebut, ada 4 (empat) macam syarat sah suatu perjanjian yaitu kesepakatan para pihak, kewenangan berbuat, objek tertentu, dan kausa yang halal. Syarat yang diatur KUHD adalah kewajiban pemberitahuan yang diatur dalam pasal 251 KUHD:[2]
Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, atau pun tidak memberikan hal-hal yang di ketahui oleh si tertanggung, betapapun itikad baik ada padanya, yang demikian sifatnya, sehingga seandainya si penanggung telah mengetahui keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak akan ditutup atau tidak ditutup dengan syarat-syarat yang sama, mengakibatkan batalnya pertanggungan.
a. Kesepakatan
Tertanggung dan penanggung sepakat mengadakan perjanjian asuransi. Kesepakatan tersebut pada pokoknya meliputi:[3]
1) Benda yang menjadi objek asuransi
2) Pengalihan risiko dan pembayaran premi
3) Evenemen dan ganti kerugian
4) Syarat-syarat khusus asuransi
5) Dibuat tertulis yang disebut polis
Pengadaan perjanjian antara tertanggung dan penanggung dapat dilakukan secara langsung atau secara tidak langsung. Dilakukan secara langsung artinya kedua belah pihak mengadakan perjanjian asuransi tanpa melalui perantara. Dilakukan secara tidak langsung artinya kedua belah pihak mengadakan perjanjian asuransi melalui jasa perantara. Penggunaan jasa perantara memang dibolehkan menurut undang-undang. Dalam pasal 260 KUHD ditentukan:
apabila asuransi diadakan dengan perantaraan makelar, maka polis yang sudah ditanda tangani harus diserahkan dalam waktu 8 (delapan) hari setelah ditutupnya perjanjian.
Dalam pasal 5 huruf (a) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 ditentukan, bertindak mewakili tertanggung dalam rangka transaksi yang berkaitan dengan kontrak asuransi. Perantara dalam KUHD disebut makelar, dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 disebut pialang.[4]
Kesepakatan antara tertanggung dan penanggung dibuat secara bebas, artinya tidak berada dibawah pengaruh, tekanan, paksaan pihak tertentu. Kedua belah pihak sepakat menentukan syarat-syarat perjanjian asuransi sesuai denan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pasal 6 ayat (1) Undang-Undan Nomor 2 Tahun 1992:
penutupan asuransi atas objek asuransi harus didasarkan pada kebebasan memilih penanggung kecuali bagi program asuransi sosial.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi hak tertanggung agar dapat secara bebas memilih perusahaan asuransi sebagai penanggungnya. Hal ini dipadang perlu mengingat tertanggung adalah pihak yang paling berkepentingan atas objek yag diasuransikan, jadi sudah sewajarnya apabila mereka secara bebas tanpa pengaruh dan tekanan dari pihak mana pun dalam menentukan penanggungnya.
b. Kewenangan
Kedua pihak tertanggung dan penanggung wenang melakukan perbuatan hukum yang diakui oleh undang-undang. Kewenangan berbuat tersebut ada yang bersifat subjektif dan ada yang bersifat objektif. Kewenangan subjektif artinya kedua pihak sudah dewasa, sehat ingatan, tidak berada dibawah perwalian atau pemegang kuasa yang sah. Kewenangan objektif artinya tertanggung mempunyai hubugan yang sah dengan benda objek asuransi karena benda kekayaan tersebut adalah miliknya.
c. Objek Tertentu
Objek tertentu dalam perjanjian asuransi adalah objek yang diasuransikan, dapat berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan, dapat pula berupa berupa jiwa atau raga manusia. Objek tertentu berupa harta kekayaan dan kepentingan melekat pada harta kekayaan terdapat pada asuransi kerugian. Objek tertentu berupa jiwa atau raga manusia terdapat pada perjanjian asuransi jiwa.
d. Kausa yang Halal
Kausa yang halal maksudnya adalah isi perjanjian asuransi asuransi itu tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Berdasarkan kausa yang halal itu, tujuan yang dicapai oleh tertanggung dan penanggung adalah beralihnya risiko atas objek asuransi yang diimbangi dengan pembayaran premi. Jadi, kedua belah pihak berprestasi, tertanggung membayar premi, penanggung menerima peralihan risiko atas objek asuransi. Jika premi dibayar, maka risiko beralih. Jika premi tidak dibayar, risiko tidak beralih.[5]
e. Pemberitahuan
Tertanggung wajib memberitahukan kepada penanggung mengenai keadaan objek asuransi. Kewajiban ini dilakukan pada saat dilakukan asuransi. Apabila tertanggung lalai, maka akibat hukum asuransi batal. Menurut pasal 251 KUHD, semua pemberitahuan yang salah, atau tidak benar, atau penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung tentang objek asuransi, mengakibatkan asuransi itu batal.[6]
[2] Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia., Cet4, (Bandung Citra Aditya Bakti, 2006), hlm.49.
[4] Ibid.hlm. 50.
[6] Ibid.hal 54
No comments:
Post a Comment