Sunday 4 March 2012

definisi asuransi


Secara umum, syahnya suatu perjanjian diatur harus memenuhi ketentuan yang diatur oleh pasal 1320 KUHperdata beserta pasal-pasal yang diatur oleh pasal-pasal yang melindungi pasal tersebut, ialah pasal 1321-1329 KUHperdata. Setiap perjanjian asuransi jiwa harus memenuhi syarat-syarat umum berikut:
a.       Sepakat mereka mengikat diri
b.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
c.       Suatu hal tertentu
d.      Suatu sebab yang halal
Ke empat hal tersebut diatas tidak boleh melakukan karena adanya kehilapan, paksaan ataupun karena tipuan. Sedangkan untuk persyaratan khusus bagi perjanjian asuransi jiwa biasanya ada persyaratan baku yang sudah disiapkan oleh perusahaan asuransi jiwa, seperti contoh: pihak asuransi Prudential menyiapkan suatu formulir Surat Pengajuan Asuransi Jiwa (SPAJ).[1]

1.      Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Asuransi Jiwa
a.       Pihak pertama ialah penanggung, yang pada umumnya adalah perusahaan asuransi jiwa. Penanggung atau perusahaan asuransi jiwa dengan sadar menyediakan diri untuk menerima dan mengambil alih risiko pihak lain. [2]  Penerimaan risiko ini diikuti dengan janji, bahkan ia akan memberikan penggantian kepada pihak lain itu apabila yang bersangkutan menderita kerugian karena kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan di deritannya karena suatu peristiwa. Dengan demikian penanggung memberikan suatu proteksi, terhadap kemungkinan kerugian ekonomi yang diderita oleh tertanggung. Peralihan risiko kepada penanggung dari tertanggung harus di ikuti dengan suatu pembayaran sejumlah uang tertentu yang disebut premi. Proteksi yang diberikan oleh penanggung kepada tertanggung pada dasarnya sangat bervariatif tertanggung kepada jenis risiko yang dapat terjadi dan sesuai dengan kemampuan penanggung untuk menerimannya. Dengan demikian proteksi yang sama dapat ditawarkan kepada calon-calon tertanggung atau masyarakat luas. Apabila tawaran diterima oleh para calon tertanggung terjadilah perjanjian asuransi jiwa atau pertanggungan.
b.      Pihak kedua adalah tertanggung, yang dapat menduduki posisi tersebut dalam perorangan, kelompok orang atau lembaga, badan hukum termasuk perusahaan atau siapapun yang dapat menderita kerugian. Jadi dalam hal ini, siapapun yang mempunyai peluang atau kemungkinan menderita kerugian dapat mengalihkanya kepada perusahaan asuransi sebagai penanggung. Peralihan risiko hanya mungkin terjadi dengan mengadakan perjanjian asuransi jiwa atau pertanggungan.

2.      Sifat Dan Ciri Yang Khusus Dalam Perjanjian Asuransi
Dari pasal 246 KUHD dapat disimpulkan bahwa asuransi merupakan timbal balik yang berarti masing masing pihak mempunyai hak dan kewajiban yang saling berhadap hadapan. Oleh sebab itu dalam hubungan dengan pemegang polis, disamping harus melaksanakan kewajiban-kewajibannya juga perlu mendapat perlindungan untuk menuntut hak-haknya. Adanya peraturan yang memeadai dan mudah difahami akan sangat membantu pemegang polis. [3]

a.       H. Gunanto:[4]
Perjanjian asuransi merupakan perjanjian aletoir, dan bukan perjanjian kommutatif adalah bahwa prestasi dari penanggung untuk memberikan ganti rugi atau sejumlah uang kepada tertanggung diganti kepada peristiwa yang belum pasti terjadi. Dengan demikian terdapat kesenjangan waktu di antara prestasi tertanggung membayar premi dengan haknya mendapat ganti rugi dari penanggung. Hal demikian berlainan dari perjanjian jenis lain yang pada umumnya prestasi kedua pihak dilaksanakan secara serentak. Oleh karena adanya syarat bagi pelaksana prestasi penanggung tersebut maka perjanjian asuransi disebut pula sebagai perjanjian bersyarat.
b.      Sri Redjeki Hartono:[5]
Perjanjian asuransi merupakan perjanjian sepihak (unilateral). Maksudnya bahwa perjanjian dimaksud menunjukan bahwa hanya satu pihak saja yang memberikan janji yaitu pihak penanggung. Penanggung memberikan janji akan mengganti kerugian, apabila penanggung sudah membayar premi dan polis sudah berjalan, sebaliknya tertanggung tidak menjanjikan suatu apa pun.


c.       Sri Redjeki Hartono:[6]
Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang melekat pada syarat penanggung (adhesion), karena didalam perjanjian asuransi pada hakikatnya syarat dan kondisi perjanjian hampir seluruhnya ditentukan dan diciptakan oleh penanggung/perusahaan asuransi sendiri, dan bukan karena adanya kata sepakat yang murni atau tawar menawar. Oleh karena itu dapat dianggap bahwa kondisi perjanjian asuransi sebagian terbesar ditentukan secara sepihak oleh penanggung sehingga penanggung dianggap sebagai penyusun perjanjian dan mengetahui banyak tentang apa yang akan dikemukakan. Akibatnya apabila pengertian yang tidak jelas, harus diuntungkan pihak tertanggung.

A.    Pengertian Asuransi Atau Pertanggungan Dan Asuransi Jiwa
1.      Istilah dan definisi asuransi
Istilah asuransi, menurut pengertian riilnya, adalah iuran bersama untuk meringankan beban individu, kalau beban tersebut menghancurkannya. Konsep asuransi yang paling sederhana  dan umum adalah suatu persedian yang disiapkan oleh sekelompok orang, yang bisa tertimpa kerugian, guna menghadapi kejadian yang tidak dapat diramalkan, sehingga bila kerugian tersebut menimpa salah seorang di antara mereka maka beban kerugian akan disebarkan ke seluruh kelompok.[7]
Menurut ketentuan pasal 246 KUHD:
“Asuransi atau Pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang penanggung mengikat diri kepada seseorang tertanggung, dengan menerima suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritannya karena suatu peristiwa yang tak tentu.”

Definisi asuransi menurut Prof. Mehr dan Cammack: [8]
“Asuransi merupakan suatu alat untuk mengurangi resiko keuangan, dengan cara pengumpulan unit-unit exposure dalam jumlah yang memadai, untuk membuat agar kerugian individu dapat diperkirakan. Kemudian kerugian yang dapat diramalkan itu dipikul merata oleh mereka yang tergabung”.

Definisi asuransi menurut Prof. Mark R. Green:
“Asuransi adalah suatu lembaga ekonomi yang bertujuan mengurangi risiko, dengan jalan mengkombinasikan dalam suatu pengelolaan sejumlah obyek yang cukup besar jumlahnya, sehingga kerugian tersebut secara menyeluruh dapat diramalkan dalam batas-batas tertentu”.

Definisi asuransi menurut C.Arthur William Jr dan Richard M. Heins, yang mendefinisikan asuransi berdasarkan dua sudut pandang, yaitu:
a.       Asuransi adalah suatu pengaman terhadap kerugian finansial yang dilakukan oleh seorang penanggung.
b.   Asuransi adalah suatu persetujuan dengan mana dua atau lebih orang atau badan mengumpulkan dana untuk menanggulangi kerugian finansial.

Berdasarkan definisi pasal 246 KUHD tersebut dapat di uraikan unsur-unsur asuransi atau pertanggugan sebagai berikut:[9]
a.       Pihak-pihak
Subjek asuransi adalah pihak-pihak dalam asuransi, yaitu penanggung dan tertanggung mengadakan perjanjian asuransi. Penanggung dan tertanggung adalah pendukung kewajiban dan hak. Penanggung wajib menanggung risiko yang dialihkan kepadanya dan berhak memperoleh pembayaran premi, sedangkan tertanggung wajib membayar premi dan berhak memperoleh penggantian jika timbul atas harta yang di asuransikannya.
b.      Status Pihak-pihak
Penanggung harus berstatus sebagai perusahaan badan hukum, dan berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Perusahaan Perseroan (persero) atau koperasi. Tertanggung dapat setatus perseorangan, persekutuan, atau badan hukum, baik sebagai perusahaan ataupun bukan perusahaan. Tertanggung berstatus sebagai pemilik atau pihak berkepentingan atas harta yang diasuransikan.
c.       Objek Asuransi
Objek asuransi dapat berupa benda, hak atau kepentingan yang melekat pada benda, dan sejumlah uang yang disebut premi atau ganti kerugian. Melalui objek asuransi tersebut ada tujuan yang ingin dicapai oleh pihak-pihak. Penanggung bertujuan memperoleh pembayaran sejumlah premi sebagai imbalan pengalihan risiko. Tertanggung bertujuan bebas dari risiko dan memperoleh penggantian jika timbul kerugian atas harta miliknya.
d.      Peristiwa Asuransi
Peristiwa asuransi adalah perbuatan hukum (legal act) berupa persetujuan atau kesepakatan bebas antara penanggung atau tertanggung mengenai objek asuransi, peristiwa tidak pasti (evenemen) yang mengancam benda asuransi, dan syarat syarat yang berlaku bagi asuransi. Persetujuan atau kesepakatan bebas tersebut dibuat dalam bentuk tertulis berupa akta yang disebut polis. Polis ini merupakan satu-satunya alat bukti yang dipakai untuk membuktikan telah terjadi asuransi.
e.       Hubungan Asuransi
Hubungan asuransi yang terjadi antara penanggung dan tertanggung adalah keterikatan (legally bound) yang timbul karena persetujuan dan kesepakatan bebas. Keterikatan tersebut  berupa kesediaan secara sukarela dari penanggung dan tertanggung untuk memenuhi kewajiban dan hak masing-masing terhadap satu sama lain. Artinya sejak terjadi kesepakatan asuransi, tertanggung terikat dan wajib membayar premi asuransi kepada penanggung, dan sejak itu pula penanggung menerima pengalihan risiko. Jika terjadi evenemen yang menimbulkan kerugian atas benda asuransi, penanggung wajib membayar kerugian sesuai dengan ketentuan polis asuransi, jika tidak terjadi evenemen, premi yang sudah dibayar oleh penenggung tetap menjadi pemilik penanggung.
Salah satu unsur penting dalam peristiwa asuransi yang terdapat dalam rumusan Pasal 246 KUHD adalah ganti kerugian. unsur tersebut hanya menuunjuk kepada asuransi kerugian yang objeknya harta kekayaan.



[1] Wawancara dari (Achmad Faizal unit Tatang Nurochman agen perusahaan Asuransi Prudential), hari kamis tanggal 1 Septembar 2011 di Jakarta
[2]  Halim ali, Pengantar Asuransi Jiwa,Cet.2.(Jakarta:Bumi Aksara 1993), hal 110
[3] Man Suparman Sastra Wijaya dan Endang, Hukum Asuransi.,Cet.3. (Bandung: Alumni,2004), hlm.7.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Muhammad Muslehudin, Menggugat Asuransi Modern., cet.1,(Jakarta: Lentera, 1999). Hlm.3.
[8]  http://www.perfspot.com/docs/doc.asp?id=84714 diunduh 21 september 2011.
[9] Abdulkadir Muhammad, Op. Cit.,hal 8.

asuransi

 
1.      Syarat-Syarat Sah Asuransi
Asuransi merupakan perjanjian khusus yang diatur dalam KUHD.  Perjanjian adalah persetujuan yang dibuat oleh pihak atau lebih tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati suatu persetujuan yang dibuat bersama.[1]Maka ketentuan syarat-syarat suatu perjanjian dalam KUHperdata berlaku juga bagi perjanjian asuransi. Karena perjanjian asuransi merupakan perjanjian khusus, maka di samping ketentuan syarat-syarat sah suatu  perjanjian, berlaku juga syarat-syarat khusus yang diatur dalam kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Syarat-syarat sah suatu perjanjian diatur dalam pasal 1320 KUHperdata, menurut ketentuan pasal tersebut, ada 4 (empat) macam syarat sah suatu perjanjian yaitu kesepakatan para pihak, kewenangan berbuat, objek tertentu, dan kausa yang halal. Syarat yang diatur KUHD adalah kewajiban pemberitahuan yang diatur dalam pasal 251 KUHD:[2]
Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, atau pun tidak memberikan hal-hal yang di ketahui oleh si tertanggung, betapapun itikad baik ada padanya, yang demikian sifatnya, sehingga seandainya si penanggung telah mengetahui keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak akan ditutup atau tidak ditutup dengan syarat-syarat yang sama, mengakibatkan batalnya pertanggungan.
a.       Kesepakatan
Tertanggung dan penanggung sepakat mengadakan perjanjian asuransi. Kesepakatan tersebut pada pokoknya meliputi:[3]
1)      Benda yang menjadi objek asuransi
2)      Pengalihan risiko dan pembayaran premi
3)      Evenemen dan ganti kerugian
4)      Syarat-syarat khusus asuransi
5)      Dibuat tertulis yang disebut polis
Pengadaan perjanjian antara tertanggung dan penanggung dapat dilakukan secara langsung atau secara tidak langsung. Dilakukan secara langsung artinya kedua belah pihak mengadakan perjanjian asuransi tanpa melalui perantara. Dilakukan secara tidak langsung artinya kedua belah pihak mengadakan perjanjian asuransi melalui jasa perantara. Penggunaan jasa perantara memang dibolehkan menurut undang-undang. Dalam pasal 260 KUHD ditentukan:
apabila asuransi diadakan dengan perantaraan makelar, maka polis yang sudah ditanda tangani harus diserahkan dalam waktu 8 (delapan) hari setelah ditutupnya perjanjian.
Dalam pasal 5 huruf (a) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 ditentukan, bertindak mewakili tertanggung dalam rangka transaksi yang berkaitan dengan kontrak asuransi. Perantara dalam KUHD disebut makelar, dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 disebut pialang.[4]
            Kesepakatan antara tertanggung dan penanggung dibuat secara bebas, artinya tidak berada dibawah pengaruh, tekanan, paksaan pihak tertentu. Kedua belah pihak sepakat menentukan syarat-syarat perjanjian asuransi sesuai denan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pasal 6 ayat (1) Undang-Undan Nomor 2 Tahun 1992:
penutupan asuransi atas objek asuransi harus didasarkan pada kebebasan memilih penanggung kecuali bagi program asuransi sosial.
            Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi hak tertanggung agar dapat secara bebas memilih perusahaan asuransi sebagai penanggungnya. Hal ini dipadang perlu mengingat tertanggung adalah pihak yang paling berkepentingan atas objek yag diasuransikan, jadi sudah sewajarnya apabila mereka secara bebas tanpa pengaruh dan tekanan dari pihak mana pun dalam menentukan penanggungnya.
b.      Kewenangan
Kedua pihak tertanggung dan penanggung wenang melakukan perbuatan hukum yang diakui oleh undang-undang. Kewenangan berbuat tersebut ada yang bersifat subjektif dan ada yang bersifat objektif. Kewenangan subjektif artinya kedua pihak sudah dewasa, sehat ingatan, tidak berada dibawah perwalian atau pemegang kuasa yang sah. Kewenangan objektif artinya tertanggung mempunyai hubugan yang sah dengan benda objek asuransi karena benda kekayaan tersebut adalah miliknya.
c.       Objek Tertentu
Objek tertentu dalam perjanjian asuransi adalah objek yang diasuransikan, dapat berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan, dapat pula berupa berupa jiwa atau raga manusia. Objek tertentu berupa harta kekayaan dan kepentingan melekat pada harta kekayaan terdapat pada asuransi kerugian. Objek tertentu berupa jiwa atau raga manusia terdapat pada perjanjian asuransi jiwa.
d.      Kausa yang Halal
Kausa yang halal maksudnya adalah isi perjanjian asuransi asuransi itu tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Berdasarkan kausa yang halal itu, tujuan yang dicapai oleh tertanggung dan penanggung adalah beralihnya risiko atas objek asuransi yang diimbangi dengan pembayaran premi. Jadi, kedua belah pihak berprestasi, tertanggung membayar premi, penanggung menerima peralihan risiko atas objek asuransi. Jika premi dibayar, maka risiko beralih. Jika premi tidak dibayar, risiko tidak beralih.[5]
e.       Pemberitahuan
Tertanggung wajib memberitahukan kepada penanggung mengenai keadaan objek asuransi. Kewajiban ini dilakukan pada saat dilakukan asuransi. Apabila tertanggung lalai, maka akibat hukum asuransi batal. Menurut pasal 251 KUHD, semua pemberitahuan yang salah, atau tidak benar, atau penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung tentang objek asuransi, mengakibatkan asuransi itu batal.[6]


[1] Sudarsono, Op.Cit., hal 355.
[2] Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia., Cet4, (Bandung Citra Aditya Bakti, 2006), hlm.49.
[3]  Ibid.
[4] Ibid.hlm. 50.
[5] Ibid.hal 52
[6] Ibid.hal 54